29 Oktober 2013

Tinggal di Jogja

sebenernya, tinggal di Jogja itu bisa dibilang harapan besar, tetapi bisa juga salah satu harapan dari sekian banyak harapan dan impian yg gue daftar. tinggal di Jogja, salah satu impian buat gue. entah sejak kapan gue mulai jatuh cinta sama Jogja dan berusaha untuk memilikinya.

siapa, sih, yg gak kenal sama Jogja? banyak orang yg sudah berkunjung ke sana. bahkan sebagian besar teman-teman gue sudah pernah ke sana dalam berbagai tujuan. ada yang pernah ke sana untuk liburan, mencari referensi untuk skripsi, atau memang mudiknya ke sana. sementara gue, gue pernah ke Jogja tahun 2011 dan itu hanya sekali-sekalinya. waktunya juga singkat. gak lebih dari 1 hari. capek di jalan tapi liburannya belum berasa.

ada rasa penasaran yg gak biasa terhadap Jogja, makanya kenapa gue pengen balik lagi ke sana tapi nggak pernah bisa. alasannya banyak faktor. dari gak ada modal, sampai gak ada izin. mungkin ketidakberhasilan gue mencapai Jogja untuk kesekian kalinya inilah yg membuat gue berpikir gue pengen tinggal di Jogja suatu hari.

mungkin bisa saja. meskipun gue belum pernah tinggal jauh dari orang tua. dari kecil hingga sekarang umur 22 tahun, gue tinggal sama orang tua dan 1 adik laki-laki. semuanya serba ada. dan gue cukup penasaran juga gimana rasanya tinggal jauh dari orang tua, meskipun kebanyak orang bilang suasana itu gak enak. karena rumah memang tempat terbaik untuk pulang.

entahlah... gue tetep pengen bisa tinggal di Jogja kalau ada kesempatan suatu hari nanti. entah itu hanya sementara atau menetap. gue bisa kerja di Jogja karena di sana ada beberapa penerbit yang gue tahu: Bentang Pustaka dan Stilleto Book. dua-duanya penerbit kece dan (mungkin) gue bisa magang atau kerja di sana. seperti cita-cita gue yg lain, gue pengen kerja di sebuah perusahaan penerbitan bagian proof reader atau editor.

selain itu, Jogja buat gue adalah surganya kerajinan tangan. suplier produk bahan-bahan mentah kerajinan tangan flanel dsb (langganan gue) juga ada di Jogja. dan harganya murah-murah. mungkin, gue gak akan takut kehabisan barang-barang mentah dlm waktu yg lama. gue juga gak perlu membelinya via online dan menunggu barang datang agak lama. jalan kaki ke pasar Beringharjo juga nyampe. mau cari apa aja, di sana juga ada. yaa... mungkin di Jakarta juga ada, tapi harganya mahal :(

yang terakhir, ini alasan yang belum kuat sih... gue pengen tinggal di Jogja karena rencananya pacar mau S2 di UGM. hahaha. gue paling nggak bisa LDR. dari pada LDR, lebih baik gue juga usaha cari kerja di daerah Jogja. siapa tahu bisa dan hubungan sama pacar gak perlu berjarak huehehehe :p

nulis begini, bayangan gue tentang Jogja jadi ke mana-mana. langsung kebayang ramahnya Malioboro, belum sempatnya ketemu sama Tugu Jogja, megahnya Stasiun Tugu, penasaran sama UGM, kangen main lagi ke alun-alun utara Kraton, dan lain-lain. teringat juga sama dua peta Jogja yang tertempel di kamar. mereka siap nemenin gue kapan aja gue mau berangkat ke sana :)

SEMANGAT!

28 Oktober 2013

Dongeng: Nawangsih dan Rinangku

Suasana pesantren sedang tegang. Aku sadar, Ayah sedang berususah payah mengembalikan semua keadaan seperti semula. Aku juga tahu, Ayah sedang berusaha mencari bukti bahwa yang terdengar dan digunjingkan akhir-akhir ini adalah salah.
Di pesantren, tiada hari tanpa aku melihat banyak santri membicarakan tentang fitnah yang disebarkan Cabolek. Pria itu telah berhasil membuat Rinangku masuk dalam perangkapnya. Kini Ayah semakin diuji kebijaksanaannya sebagai pemimpin di pondok pesantren. Semua ini terjadi hanya karena Cabolek iri hati pada Rinangku.
Sudah sejak lama aku tahu jika Ayah sedang mencari seorang menantu untuk dijodohkan denganku. Dalam hal ini, sebagai seorang guru di pondok pesantren, Ayah pun tidak sembarangan memilih calon suami untukku. Ayah mulai memperhatikan para santri di pondok pesantren, terutama para santri yang pandai-pandai. Kelak, Ayah ingin memiliki seorang menantu yang dapat dipercaya tanggung jawabnya terhadap keluarga.
Hingga akhirnya Ayah seakan telah menentukan pilihan. Tak kusangka Ayah merasa simpati pada salah seorang santri yang bernama Cabolek. Sungguh aku terkejut mengetahui hal itu. Tak pernah kubayangkan, aku akan mengabdi seumur hidupku pada pria bertubuh cebol itu. Sudah cebol, wajahnya pun tak tampan. Itulah mengapa orang-orang memanggilnya Cebolek.
“Anakku, sebagai seorang ayah, sudah tanggung jawabku mencarikanmu calon pendamping hidup yang kelak dapat dipercaya dan bertanggung jawab kepada keluarga. Telah kuputuskan, Cebolek memang pria yang pantas untukmu, Nak,” begitulah kata-kata Ayah begitu aku dipanggil untuk berbicara empat mata dengannya.
Kuberanikan diri membuka suara. “Maafkan aku jika aku lancang, Ayah. Aku berterima kasih karena Ayah mau repot-repot mencarikanku calon suami, tapi… sungguh aku belum ingin menikah. Apalagi dengan pria pilihan Ayah saat ini,” kusadari suaraku bergetar. Seumur hidupku, aku belum pernah membantah Ayah.
“Jangan terburu-buru, Nawangsih, Anakku,” Ayah menyentuh bahuku seakan memberi kekuatan. “Kau bisa melakukan pendekatan dulu dengan Cebolek. Sering-seringlah bicara dengannya, maka kau akan tahu tentangnya lebih jauh dan dalam lagi. Hanya dia yang kupercaya dapat mendampingimu dibanding santri yang lain,”
Aku terdiam tak menjawab perkataan Ayah. Aku mengigit bibir bawahku menahan kekesalan di dalam hatiku. Sungguh aku tak mengerti mengapa Ayah dengan begitu mudahnya bersimpati kepada Cebolek. Sejak saat itu, kuperhatikan Cebolek mulai mendekatiku lebih gencar. Sebisa mungkin aku terus menghindarinya. Rupanya, Cebolek tidak mudah menyerah. Kudengar dari para santri yang lain, Cebolek terlanjur menaruh hati padaku. Tuhan, jangan persulit aku pada keadaan ini.
Sejenak aku berpikir, Tuhan mendengar rintihan doaku. Hingga Tuhan kirimkan seorang pemuda ke pondok pesantren Ayah. Ia bernama Rinangku, putra dari Ki Pangandaran yang kutahu sangat berkuasa di daerah Semarang lewat cerita Ayah. Sebagai pemimpin pondok pesantren, Ayah menyambut kedatangan Rinangku. Ia pemuda tampan dan memikat hati. Pertama kali aku melihatnya, aku merasakan ada sesuatu yang membuatku ingin mengetahui lebih banyak tentang putra Ki Pangandaran itu.
Di suatu hari, aku dan Rinangku bertemu pandang. Kudapati ia memberi salam hormat padaku. Tingkah sopannya membuatku semakin jatuh hati padanya.
“Bolehkan hamba bertanya pada Tuan Putri?” tanya Rinangku.
“Dengan senang hati, aku akan menjawabnya,” jawabku.
“Benarkah engkau wahai putri nan cantik jelita adalah Nawangsih, putri dari Sunan Muria, pemimpin dari pondok pesantren ini?”
“Betul, Pangeran. Aku adalah Nawangsih, anak Sunan Muria. Jika boleh aku meminta, cukuplah engkau memanggilku dengan nama Nawangsih,”
Lagi-lagi kudapati Rinangku agak membungkuk menghormatiku. “Baiklah jika engkau meminta, Tuan Putri,”
“Cukup Nawangsih, Rinangku,” sekali lagi, kutatap Rinangku yang juga menatapku. Setelah itu, dengan segera aku pergi dari hadapannya. Aku tidak ingin terlalu lama bertatapan dengannya. Sebab aku tak kuat menahan pesona kharismanya.
Tetapi tak kusangka, pertemuanku yang singkat itu diketahui oleh Cebolek. Api cemburu telah membakar hatinya. Kecemburuan itu membuatnya tak dapat berpikir jernih. Ia menghalalkan segala cara untuk mencelakakan Rinangku. Pada suatu hari di kerusuhan perampok, Cebolek dengan kepandaiannya mengambil hati Ayah agar Ayah menyuruh Rinangku menangkap perampok-perampok itu. Ayah pun menanggapi saran Cebolek dengan kewajaran. Sudah sepantasnya sebagai santri di pondok pesantren, Rinangku diuji kepandaiannya. Di balik itu semua, Cebolek justru menginginkan Rinangku mati di tangan perampok-perampok. Tapi kenyataan berkata lain, Rinangku justru berhasil menangkap perampok-perampok itu dan membawanya ke pondok pesantren. Bahkan perampok-perampok itu ingin bertobat dan berguru kepada Ayah. Mengetahui hal itu, Cebolek semakin tersisihkan dan dendam pada Rinangku.
Dendam Cebolek berlanjut. Ia menyebarkan fitnah tentang Rinangku yang diam-diam memasuki kamarku yang jelas-jelas melanggar kesopanan dan adat sebagai santri. Aku tahu Cebolek telah merencanakan ini semua. Ia menjebak kami. Malangnya, Ayah tidak percaya jika Cebolek pelaku dari semua ini. Hingga akhirnya Ayah menghukum Rinangku untuk menjaga burung-burung yang memakan padi di sawah Ayah. Sejak itu kami terpisah.
“Kuperintahkan engkau untuk menjaga burung-burung yang memakan padi di sawah Dukuh Masih. Janganlah engkau kembali sebelum aku sendiri yang memanggilmu,” perintah Ayah pada Rinangku. Aku menyaksikan perintah itu. Ada Cebolek juga di sana dengan senyum kemenangannya.
Kutatap Rinangku yang dengan mantap menuruti perintah Ayah. Ia segera meninggalkan pondok pesantren, terlebih lagi meninggalkanku. Aku tak mampu mencegahnya, sekalipun untuk mengucapkan salam perpisahan. Ayah yang terlanjur terhasut, melarangku untuk berhubungan dengan Rinangku. Hal ini membuatku semakin tersudut. Sejak awal, aku tahu bahwa Cebolek tidak benar-benar baik untukku. Tidakkah Ayah menyadari itu?
“Tenanglah, Anakku. Aku yakin Rinangku tidak benar-benar melakukan hal buruk itu. Bersabarlah, aku akan mencari tahu kebenarannya,” kata Ayah.
“Ayah percaya padaku bahwa Rinangku tidak bersalah? Rinangku hanya difitnah, Ayah. Mungkin ada seseorang yang tidak menyukainya,” tuturku setengah menangis pada Ayah.
“Bersabarlah,” pesan Ayah.
Aku akan bersabar, Ayah. Kusadari kau begitu bersusah payah mencari tahu kebenaran ini. Kau yakin bahwa Rinangku memang tidak bersalah. Dan aku yakin bahwa kau adalah pemimpin yang bijaksana.
Ketegangan demi ketegangan pun terus kuhadapi. Tuduhan-tuduhan pada Rinangku terus kuterima dengan besar hati. Aku bersabar hingga akhirnya Ayah berhasil menemukan jawabannya bahwa Rinangku tidak bersalah. Segeralah Ayah, aku, dan para santri mendatangi Rinangku hendak mengajak pulang.
Kulihat gubuk yang menjadi tempat Rinangku tinggal selama di sawah. Kudapati ia sedang duduk di depan gubuk menghadap sawah. Ingin sekali aku berlari dan mengatakan padanya bahwa Ayah telah percaya dirinya tidak bersalah, dan aku sangat merindukan wajah tampannya.
Akan tetapi, raut wajah Ayah berubah begitu sampai di depan gubuk. Hal itu membuat khayalan indahku pun buyar.
“Ayah, ada apa?” tanyaku lembut.
Ayah tak menjawab. Dengan menahan amarah, ia bertanya pada Rinangku. “Hei Rinangku, mengapa tak kau usir burung-burung itu? Jika burung-burung terus memakan padiku, padiku tidak akan bisa dipanen,”
Dengan hormat dan santun, Rinangku menjawab, “Bapak Guru, di manakah kesalahanku yang mendengar perintahmu untuk menjaga burung-burung yang memakan padi? Jika semua ini rusak, izinkan aku memperbaikinya,” dalam sekejap, padi-padi itu pulih kembali dan siap panen.
“Lancang kau, Rinangku. Aku tahu kau hebat, tapi tidaklah kau pantas berpamer dihadapan gurumu ini!” marah Ayah.
“Ayah, sudah, Ayah,” aku memohon pada Ayah yang tersinggung hatinya melihat niat baik Rinangku. Bagi Ayah, tidaklah pantas seorang murid menunjukkan keahliannya tanpa diminta atau pamer di hadapan gurunya.
“Diam kau, Nawangsih. Aku sungguh kecewa padanya!” bentak Ayah.
“Ayah, aku mohon, Ayah. Sungguh tentu bukan maksud Rinangku menghina Ayah dengan apa yang dilakukannya,” aku menangis sambil memohon. Aku terlanjur mengharapkan ada akhir yang indah setelah Ayah menjemput Rinangku, bukan akhir yang justru akan sangat dinikmati oleh Cebolek.
“Aku tidak terima, Rinangku. Sekarang, rasakan kerisku ini!”
“Jangan, Ayah….!” Aku berlari ke arah Rinangku dan memeluknya. Bersamaan dengan keris Ayah yang hendak Ayah hujamkan ke dada Rinangku, justru tertancap ke punggungku.
“Nawangsih!” kudengar teriakan Ayah bersamaan dengan Rinangku. Mereka sama-sama terkejut.
Kurasakan sakit yang amat sangat di punggungku. Tak kuasa aku menahannya. Dalam pelukan Rinangku, aku menatapnya. Dan melihat wajah Ayah yang menatap kosong ke arahku.
“Ayah…” rintihku.
“Anakku…” kulihat Ayah menitikkan air matanya. “Anakku… mengapa harus dirimu…?”
“Maafkan aku, Ayah… Tolong, jangan sakiti Rinangku, Ayah tahu Rinangku tidak bersalah… Ayah tahu bukan Rinangku dalang dari semua ini…” ucapku terbata-bata. Darah keluar dari mulutku. Kurasakan kehangatan yang Rinangku hantarkan lewat genggaman tangannya. Kutatap wajahnya lekat. Mungkin bisa menjadi sebuah kehangatan dalam kepergianku.
“Mengapa kau lakukan ini, Nawangsih? Harusnya aku yang mati… Jangan tinggalkan aku, Nawangsih…” itulah kata-kata Rinangku yang terakhir kali kudengar. Setelah itu, semuanya gelap. Aku tak mendengar apa-apa lagi. Semoga di kehidupan selanjutnya, aku dan Rinangku akan bertemu lagi.

------------------------------------------
Depok, 20 Oktober 2013
Digubah dari cerita dongeng Kudus berjudul Kisah Cinta Nawangsih dan Rinangku sebagai tugas kuliah Penulisan Populer di FIB UI.

Kantin Sastra


Matahari cukup terik ketika kulirik jarum jam menunjukkan pukul satu siang. Kuputuskan untuk membelokkan langah kakiku menuju kantin. Orang-orang menyebutnya Kansas, singkatan dari Kantin Sastra.

Kansas sudah berdiri sejak aku kuliah di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya. Bahkan, sudah berdiri jauh sebelum aku diterima menjadi mahasiswa UI. Pertama kali aku melihat Kansas, bentuknya hampir mirip seperti gubuk. Tak kusangka ada juga banyak dosen yang menyebut Kansas seperti kandang sapi. Dari luar, Kansas memang terlihat menyedihkan dan kurang meyakinkan. Tetapi, bagi sebagian orang yang betah di sana, mereka menganggap Kansas sebagai rumah kedua mereka.

Kini, aku terduduk di salah satu kursi kosong ditemani dengan segelas Capucinno yang baru saja kubeli. Sekilas, Kansas yang sekarang jauh berbeda dengan Kansas tiga tahun yang lalu. Atap Kansas tidak lagi terbuat dari jerami, kondisinya jauh lebih baik sekarang. Kursi-kursi dan mejanya tidak lagi berwarna merah-kuning-hijau-biru, semuanya berwarna putih. Sekarang siapa saja bisa duduk di mana saja. Tidak seperti dulu, setiap jurusan memiliki wilayahnya sendiri sesuai dengan warna kursi.

“Aku tunggu di Kansas,” kukirim sebuah pesan singkat ke nomor ponsel sahabatku. Aku janjian dengan sahabatku di kampus. Sepertinya ia masih les bahasa Jepang di LBI. Kuputuskan untuk menunggu.

Capucinnoku mulai berkurang sedikit demi sedikit. Hawa Kansas sangat panas jika siang-siang seperti ini. Tapi anehnya, banyak orang yang betah makan siang sambil kipas-kipas atau sibuk mengelap keringat yang terus mengalir. Dua kipas angin yang terpasang di atap Kansas semakin tidak berguna. Buang-buang listrik.

Kansas terlihat lebih sepi pada hari Sabtu dibandingkan hari kuliah seperti hari Senin hingga Jumat. Pada kelima hari itu, kursi Kansas jauh lebih penuh diduduki. Bahkan terbilang sangat padat. Semua orang menuju satu titik untuk menyumpal caing-cacing di perut mereka sedangkan waktu yang mereka punya untuk makan siang tidak banyak. Tidak ada jalan lain, hanya Kansas tempat makan yang paling dekat dan terjangkau. Meskipun harus makan dalam kondisi terburu-buru, kursi yang terbatas, banyak piring kotor di meja-meja yang baru saja ditinggalkan oleh penghuni setia Kansas, dan puluhan lalat ikut meramaikan.

Tak peduli hari ini hari apa, Kansas tetap panas dan berlalat. Beberapa kursi kosong tak berpenghuni. Hanya ada sekitar 5 meja yang terisi oleh sekelompok mahasiswa. Aku duduk di salah satu sisi Kansas yang menghadap ke arah taman pohon Kamboja. Sekilas dari kejauhan, kursi dan meja Kansas memang dicat putih. Jika dilihat lebih dekat, warnanya justru terbilang mendekati abu-abu. Coretan di mana-mana. Bahkan ada juga gambar-gambar ilustrasi di sana.

Beberapa mahasiswa berbondong-bondong mulai memasuki Kansas dari arah taman pohon Kamboja. Sepertinya para peserta kelas LBI baru saja usai kelas. Kansas pun mulai ramai. Di belakang saya, duduklah segerombol mahasiswi dengan obrolan yang cukup mengasyikkan. Sebab suara mereka hampir mendominasi di Kansas. Meskipun musik koplo dari warung satai di sudut sebelah kiri dari aku duduk, masih jauh lebih keras berkumandang. Di hadapanku, ada beberapa pria-pria yang duduk sendirian di meja yang berbeda. Mereka menyantap makan siang mereka dengan tatapan kesepian, berharap ada seorang teman mengajaknya makan siang sambil berbincang-bincang.

Tiba-tiba suara cicit burung mengalihkan pandanganku. Sekelebat beberapa burung gereja tampak mondar mandir terbang menyebrangi Kansas. Beberapa penjual makanan juga seliweran ke sana kemari untuk mengantarkan pesanan. Di hari Sabtu begini, Mas Roni, penjual ayam penyet yang paling terkenal di Kansas, masih sibuk menyiapkan pesanan. Ayam penyetnya selalu laku. Tidak jauh dari warung Mas Roni, terdapat dua orang pria sedang beradu kepintaran di atas papan catur.

Aku semakin tidak tahan dengan hawa panas yang meyerangku. Juga para lalat yang sejak tadi mampir mendarat di mejaku. Selain itu, kutatap pula seekor kucing yang berhasil naik ke meja untuk menghabiskan sisa-sisa makanan dan beberapa remahan di sekelilingnya. Kesal karena tak punya kipas, kukibas-kibaskan tanganku demi mendapatkan sebuah angin. Tetapi hasilnya, nihil. Atap Kansas yang mengerucut sepertinya tidak berfungsi dengan baik, udara yang masuk seakan-akan terperangkap dan tidak bisa keluar.

Kuputuskan untuk menghabiskan Capucinnoku yang tinggal sedikit. Sejak tadi aku mencari-cari, tetapi sahabatku belum juga muncul di Kansas. Jangan-jangan pesan singkatku tadi belum dibacanya dan ia meninggalkanku di sini. Baru saja aku akan menelponnya, ia lebih dulu menghubungiku.

“Halo, Ra,” serunya di seberang.

“Halo, Ti, di mana? Masih kelas?” tanyaku tak sabar.

“Aku baru baca SMS-mu. Maaf, Ra, aku lupa memberitahumu bahwa aku tidak ke kampus hari ini. Lesku libur dan sekarang aku masih di kosan, baru bangun.”

Kudengar tawa renyah cekikikan di seberang sana. Geram sekali rasanya dibiarkan menunggu di tengah hawa panas seperti ini dan tidak menghasilkan apa-apa. Tanpa membalas ucapan sahabatku tadi, aku langsung memutus telepon.

“Awas saja kamu, akan aku guyur kamu nanti setibanya aku di kosanmu!” ancamku dalam hati. Segeralah dengan kesal, aku bergegas menuju kosan sahabatku.

-------------------------------
Depok, 29 September 2013
Ditulis dalam rangka tugas mata kuliah Penulisan Populer di FIB UI mengenai Deskripsi Tempat

Ruang 9303


            Sejujurnya, aku tidak suka dingin. Seperti saat ini, aku duduk di kursi kelas tepat di bawah pendingin ruangan dengan suhu sekitar 25 hingga 24 derajat celcius. Bagi orang lain, mungkin suhu itu tidak terlalu dingin. Akan tetapi, duduk di bawah pendingin ruangan seperti ini bukan hal yang bagus bagiku.
            Beberapa kali kulirik jam tangan di tangan kiriku. Detaknya belum beranjak melewati angka 1. Kualihkan tatapanku ke arah depan. Pak Sunu masih betah dengan posisinya, bersandar di pinggiran meja, berceramah memberikan perkuliahan. Sesekali beliau menyisipkan lelucon-lelucon untuk mencairkan suasana kelas agar tidak membosankan. Penampilan beliau tidak jauh berbeda dengan minggu lalu, masih setia dengan setelan kemeja garis-garis dan bercelana longgar. Kali ini, celananya berwarna hijau army. Rambutnya sedikit beruban dan beliau terbilang santai dalam mengajar.
            Di tengah perkuliahan yang mulai membuatku gelisah akan tanda tanya kapan jarum jam berpindah ke angka 1, kulihat Pak Sunu masih semangat bercerita tantang dunia sastra dan tulis menulis. Sesekali beliau menyeruput air mineral di atas meja, pasti tenggorakan beliau kering juga bicara panjang lebar selama hampir dua jam. Meja pengajar diisi oleh buku-buku yang dibawa oleh Pak Sunu. Sangat mengherankan, saat masuk kelas tadi, beliau menggendong ransel yang hampir mirip tas orang naik gunung. Akan tetapi, tangannya masih sibuk membawa buku-buku berhalaman sekitar 100-150 halaman. Mungkin beliau akan terlihat lebih baik jika membawa para jendela dunia itu dengan tangannya sendiri, bukan disimpan di dalam ransel.
            Kudengar tawa membahana memenuhi atsmorfer ruang 9303. Rupanya aku ketinggalan kalimat-kalimat lucu mengundang tawa yang diucapkan Pak Sunu. Kutengok ke barisan kursi di sisi kiri dari tempat kududuk. Kursi nyaris terisi penuh oleh mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir. Beberapa di antaranya adalah teman satu jurusanku. Beberapa lainnya, ada yang kukenal dan asing di mataku. Salah satunya di pojok belakang, aku kenal siapa yang duduk di sana. Namanya Tito, mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah yang pernah satu kelas di kelas MPKT saat semester satu. Tak terasa sudah tiga tahun masa itu berlalu. Tito juga pasti lupa bahkan sama sekali tidak tahu siapa aku. Baru kusadari, hampir semua kursi di deretan baris belakang terisi oleh pria-pria bersuara besar.
            Sebetulanya, perkuliahan ini tidaklah membosankan. Aku sangat menantikan kelas Penulisan Populer dibuka di setiap semester. Aku cinta menulis, apalagi kisah cinta. Hanya saja, ruang kelasnya yang tidak menyenangkan. Selain karena pendingin ruangannya, juga karena kelas ini berada di lantai 3. Satu lagi, aku benci terlambat sampai di kelas. Kebencianku akan semakin bertambah jika sudah terlambat, aku harus berlari menaiki tangga ke lantai tiga. Betapa semangatnya menjadi mahasiswa, bukan? Seandainya aku boleh mengganti cat tembok kelas yang berwarna kuning kusam ini dengan warna biru muda atau hijau muda, agaknya lebih menyenangkan dan memberikan efek segar dalam berkuliah. Ah sialnya, kondisi langit-langit di bagian sudut depan ruang kelas memperburuk kenyamanan belajar di sini. Warnanya bukan lagi putih bersih, tetapi coklat bergaris-garis. Warna itu pasti ditimbulkan oleh rembesan air hujan yang masuk lewat atap yang bocor. Akan sangat bahaya jika kondisi itu dibiarkan saat hujan. Sebab di dinding yang sejajar dengan atap rusak itu, terdapat kabel-kabel panjang dan berantakan.
            Pak Sunu jarang menggunakan LCD saat berkuliah. Tetapi hari ini, ia juga belum menggunakan spidol untuk membagi ilmunya di papan tulis. Papan berukuran hampir tiga per empat dinding masih putih bersih. Penghapus papan tulis pun masih tenang bersandar di tempatnya. Pintu kelas beberapa kali dibuka dan ditutup oleh Pak Sunu untuk mencontohkan sebuah cerpen yang beliau bacakan. Sungguh, kuliah di kelas ini haruslah ekspresif. Itu menurutku. 23 orang mahasiswa tampak serius mengamati setiap pergerakan yang dicontohkan beliau. Di sebelah kananku, seorang mahasiswa beberapa kali mengadu bahwa ia mengantuk. Sementara yang di sebelah kiriku, sibuk bolak-balik bertanya jam berapa sekarang. Menurutku, kelas ini asyik dan menyenangkan, mengapa kedua mahasiswa di kedua sisiku merasa kuliah ini membosankan bagi mereka.
            Jika dipikir-pikir lagi, memang akan sangat membosankan bagi yang tidak suka menulis. Tidak ada salahnya jika aku melihat jam untuk mengecek apakah kelas ini sudah seharusnya selesai atau belum. Lagi-lagi, ruang ini bahkan tidak memiliki jam dinding. Di dinding, justru hanya ada 2 lembar kertas berukuran A4 ditempel di sebelah kiri papan tulis. Satu lembar berisi tentang larangan mengaktifkan ponsel dan satunya lagi berisi tentang larangan plagiarisme.
            “Kumpulkan tugas hari Jumat, hari Senin akan kita bahas di kelas. Selamat siang dan terima kasih.”

            Suara Pak Sunu cukup menyadarkanku dari lamunan. Rupanya kelas telah diakhiri dengan tugas yang harus dikumpulkan hari Jumat. Minggu depan, tugas itu akan dibahas bersama-sama di kelas. Oh, aku sangat menantikan menit-menit untuk mengerjakan tugas itu di rumah sesegera mungkin. Minggu depan, semoga yang kukerjakan tidak mengecewakan Pak Sunu saat membacanya.

---------------------------------------------
Depok, 19 September 2013
Ditulis dalam rangka tugas pertama mata kuliah Penulisan Populer di FIB UI mengenai Deskripsi Ruang.

24 Oktober 2013

Craft!

Hai, long time no see!

Siang ini gue mau cerita dong. Baru saja gue lihat-lihat blog para crafter Indonesia. Hmm, seneng rasanya mampir ke sana dan lihat-lihat hasil karyanya. Bagus, cantik, lucu, imut, manis, dan masih banyak lagi. Dari kreasi boneka, bentuk-bentuk makanan, binatang, dan lain-lain. Rasanya ngiri deh sama mereka yang bisa fokus meluangkan waktunya untuk menjahit dan crafting :'(

Gue sebagai crafter yang masih terbilang pemula, cukup banyak belajar dari hasil browsing di internet. Lihat-lihat model bentuk yang lucu-lucu. Dari bikin karya yang sama "plek" persis di blog crafter terdahulu, hingga yang betul-betul gue buat sendiri.

Salah satu produk andalan gue yang betul-betul gue buat sendiri idenya, tutorialnya, hingga kreasinya ya cuma mawar flanel yang gue jualin di wawawisky flanel saat ini. gue merasa bangga sebetulnya bisa menghasilkan produk itu dengan ilmu yang gue temukan sendiri. *halah, macam profesor aja gue ngomong begitu*

Terkadang, pengen banget punya waktu banyak untuk crafting. gue pernah mengkhayal suatu hari bisa punya kantor atau ruangan khusus untuk crafting. di mana di tempat itu, gue bisa menjahit dan berkreasi kapan aja tanpa harus diganggu banyak orang. nanti dekorasi ruangannya gue juga yang buat. ada rak khusus flanel, rak khusus material seperti benang-jarum-payet-dll, ada rak khusus pita, dan masih banyak lagi. huaaaaah terus hasil karya gue dari mawar, gantungan kunci, dan boneka bisa dipajang di sana. Senangnya... :3

Kapan ya bisa mewujudkan semua itu?
Selain berkreasi dengan flanel, kegiatan craft yang laun yg gue suka itu scrapbooking, making a card, wrapping a gift, dan lain-lain. Bahagia rasanya kalau suatu hari itu semua bisa dijadikan bisnis :D :D
Jadi gue kerjanya sesuai dengan hobi. Tapi, apa boleh?

Semoga Tuhan selalu bersama gue aja deh kalo gitu. Amin :")

18 Oktober 2013

Hei, you!






HAPPY DAY
AND
HAPPY FOR US

Outfits by owner
Hijab by @darameutia
Shoes by @melissajellyshoes